Bicara

"Demi Allah, tidak ada ganti yang lebih baik dari dia, yang beriman kepadaku saat semua orang ingkar, yang percaya kepadaku ketika semua mendustakan, yang mengorbankan semua hartanya saat semua berusaha mempertahankannya dan darinyalah aku mendapatkan keturunan." Begitulah Rasulullah SAW menggambarkan kepribadian Siti Khadijjah r.a.,istri pertamanya. Seorang isteri sejati, muslimah yang dengan segenap kemampuan diri berkorban demi kejayaan Islam.

9/03/2006

Tujuh Gaya Komunikasi Yang Tidak Sehat

KOMUNIKASI

Ada orang-orang tertentu yang seolah-olah dilahirkan untuk menjadi
orang yang sukses dalam pergaulan. Dengan mudahnya mereka dapat
menjalin persahabatan setiap bertemu dengan teman yang baru.

Bukan itu saja, persahabatan mereka pun biasanya bertahan sampai
kekal. Sebaliknya, ada pula orang-orang yang justru mengalami
kesukaran dalam pergaulan. Tema "disalah mengerti" merupakan tema
pokok hidup mereka meski mereka tak henti-hentinya berusaha
mengoreksi diri. Banyak faktor yang terlibat yang menyebabkan
keberhasilan atau kegagalan kita dalam pergaulan, salah satunya
adalah gaya kita berkomunikasi.

Tanpa kita sadari, sebenarnya gaya komunikasi itu sendiri adalah
bagian dari isi berita yang kita komunikasikan. Pada umumnya orang
yang sukses dalam pergaulan bukan saja memahami dampak gaya
komunikasinya pada orang lain, ia pun telah berhasil mengubahnya
menjadi gaya komunikasi yang luwes dan menyenangkan.

Gaya komunikasinya bukan saja tidak mengganggu isi berita yang ingin
ia sampaikan, malah gayanya yang luwes itu menambah kekuatan atau
bahkan adakalanya melengkapi kekurangan isi berita yang ingin ia
kemukakan.

Di bawah ini saya mencoba menjabarkan TUJUH GAYA KOMUNIKASI YANG TIDAK
SEHAT. Mudah-mudahan dapat menolong kita memperbaiki keterampilan
yang sangat penting ini.

Gaya 1: Si Penganggap

Ungkapan yang biasanya terlontar dari dirinya adalah, "Saudara
seharusnya sudah mengerti maksud saya." Si Penganggap umumnya
melakukan satu kesalahan yang cukup serius dalam komunikasi, yakni
menganggap orang lain pasti memahami isi hatinya. Sebelum kita
menganggap orang lain sudah menangkap maksud kita, kita perlu mengecek
ulang, apakah benar ia sudah memahami pembicaraan kita. Gaya
komunikasi seperti ini acap kali membuahkan kekecewaan dan bahkan
kemarahan.

Gaya 2: Si Sepenggal

Orang ini berpikir, "Bukankah sudah saya katakan semuanya itu?!" namun
sesungguhnya yang terjadi adalah ia memang belum mengemukakan seluruh
pikirannya -- baru sepenggal saja. Sewaktu kita berbicara, kecepatan
pikiran kita bergerak dari satu topik ke topik yang lainnya tidaklah
sama dengan kecepatan lidah kita mengungkapkan isi pikiran itu
sendiri.

Bagi Si Sepenggal, pikirannya bergerak telalu cepat atau lidahnya
terlalu lamban sehingga maksud hatinya tidak tertuang sepenuhnya
melalui bahasa ucapan. Masalahnya ialah, ia tidak menyadari hal ini,
sehingga dalam benaknya, ia sudah mengatakan semua yang ingin ia
sampaikan. Si Sepenggal rentan terhadap frustasi karena komunikasinya
menjadi terpotong-potong dan sudah tentu, membuka pintu terhadap
kesalahpahaman.

Gaya 3: Si Peremeh

Ucapan Si Peremeh pada umumnya ditandai dengan kalimat sejenis ini,
"Kenapa tidak mengerti-mengerti?" atau "Memang bodoh kamu!" Si Peremeh
memiliki satu masalah yang lumayan serius yakni ia memperlakukan semua
orang sama seperti dirinya. Alhasil, apabila orang lain tidak bisa
mengikuti kemauan atau pikirannya, ia pun marah.

Sewaktu marah, bukannya ia melihat bahwa memang orang lain berbeda
dengannya, ia justru memandang perbedaan sebagai kekurangan di pihak
orang lain. Gaya komunikasi ini cenderung merusakkan hubungan dengan
orang lain. Siapa saja yang pernah disakitinya akan menjaga jarak
karena tidak mau terluka lagi.

Gaya 4: Si Penyenang

Si Penyenang mempunyai satu misi dalam hidupnya, yakni menyenangkan
hati semua orang. Akibatnya, tema seperti ini sering keluar dari
bibirnya, "Saya akan lakukan apa saja bagimu asal kamu bahagia."
Bicara dengan Si Penyenang memang bisa menyenangkan karena ia akan
mengangguk-angguk saja, namun biasanya gaya komunikasi ini dapat
mendangkalkan relasi pribadi. Sukar sekali untuk mengetahui hati Si
Penyenang karena ia tidak terbuka. Ketidakterbukaannya itu juga
cenderung membuatnya menumpuk semua perasaan dalam hati. Kalau tidak
tertahankan, ia mudah menjadi orang tertekan dan tidak bahagia.

Gaya 5: Si Pelupa

Kita bisa lupa dan adakalanya sengaja melupakan peristiwa tertentu.
Malangnya, Si Pelupa lupa dan melupakan terlalu banyak hal dan
frekuensinya terlalu sering. Ia acap kali berujar, "Tidak, saya tidak
mengatakan hal itu." Namun kenyataannya ialah ia mengatakan hal
tersebut. Baik lupa atau melupakan informasi yang akhirnya dibutuhkan
oleh orang lain cenderung melemahkan kepercayaan orang pada dirinya
sendiri. Orang lain dapat membentuk anggapan bahwa Si Pelupa
meremehkan atau bisa juga, orang lain menilai bahwa Si Pelupa tidak
tulus. Ini bahaya! Komunikasi sangat bergantung pada kepercayaan;
tanpa itu, yang mendengar adalah suara belaka.

Gaya 6: Si Pendebat

Repot juga berkomunikasi dengan Si Pendebat karena pembicaraan
dengannya cenderung menjadi arena balapan kebenaran. Perhatikan kata-
kata yang biasanya keluar dari mulutnya, "Apa benar saya berkata
demikian? Apa kamu yakin? Bagaimana dengan dirimu sendiri?" Si
Pendebat kaya dengan kata-kata dan gaya berkomunikasinya mirip dengan
taktik menyerbu orang lain dengan bombardemen kata-kata. Si Pendebat
cenderung melemparkan fokus masalah ke pihak lawannya sehingga ia
bebas dari kesulitan. Gaya komunikasi ini bisa menimbulkan rasa tidak
suka dan jenuh pada orang lain karena bicara dengannya membuat diri
merasa diserang. Lebih jauh lagi, Si Pendebat akhirnya membuat orang
beranggapan bahwa ia senantiasa mengelak dari tanggung jawabnya.

Gaya 7: Si Talenan

Rasa iba, kasihan, simpati adalah beberapa kata yang sering
diasosiasikan dengan Si Talenan karena perasaan -perasaan seperti
itulah yang timbul tatkala melihatnya. Si Talenan selalu menyediakan
dirinya menjadi sasaran tudingan orang lain tanpa benar-benar
menyadari di mana letak kesalahannya (kalau memang ada).
Ucapan seperti ini cenderung muncul dari bibirnya, "Betul, memang saya
yang salah dan sudah sepantasnya dimarahi." Masalahnya ialah, ia
melakukan itu karena tidak berani atau berkekuatan memperhadapkan
orang lain dengan kebenaran. Ia tidak suka keributan dan baginya
silang pendapat tidaklah bijaksana, jadi, harus dihindarkan.
Gaya komunikasi ini sangat merugikan dirinya dan bisa mengundang
penghinaan dari orang lain. Orang lain semakin berani berbuat
sekehendak hatinya tanpa mempedulikan perasaannya. Namun, bukankah ia
jugalah yang memulainya?

Dari penjelasan di atas kita melihat bahwa gaya komunikasi dapat
memancarkan kepribadian kita yang sesungguhnya, namun bisa pula
merupakan gaya yang dipelajari.

Adakalanya untuk mendapatkan penerimaan dari orang lain, kita terpaksa
mengikuti gaya komunikasi yang tertentu. Atau kita belajar dari
keluarga kita sendiri sehingga kita menganggap gaya komunikasi kita
dipahami semua orang, alias universal. Jika gaya komunikasi kita
memang merupakan buah kepribadian sendiri, sudah tentu perlu koreksi.

Obat penawarnya ada beberapa, misalnya meminta tanggapan orang lain.
Mungkin kita dapat memeriksa ucapan-ucapan kita dengan lebih teliti
dan menanyakan, apa kira-kira yang orang lain rasakan (bukan kita,
sebab kalau kita, mungkin sekali kita tak merasa apa-apa karena sudah
terbiasa) tatkala mendengar kata-kata kita. Kita rela membayar mahal
dan menanamkan waktu yang panjang untuk pendidikan kita; ironisnya,
kita sering tidak bersedia membayar mahal untuk belajar menyehatkan
gaya komunikasi kita. Memang, adakalanya hal yang penting tampaknya
sederhana.

Be more concerned with your character than your reputation, because
your character is what you really are, while your reputation is
merely what others think you are....

0 Comments:

Post a Comment

<< Home