Bicara

"Demi Allah, tidak ada ganti yang lebih baik dari dia, yang beriman kepadaku saat semua orang ingkar, yang percaya kepadaku ketika semua mendustakan, yang mengorbankan semua hartanya saat semua berusaha mempertahankannya dan darinyalah aku mendapatkan keturunan." Begitulah Rasulullah SAW menggambarkan kepribadian Siti Khadijjah r.a.,istri pertamanya. Seorang isteri sejati, muslimah yang dengan segenap kemampuan diri berkorban demi kejayaan Islam.

9/03/2006

"Suara Keledai"

Eramuslim - Al-Qur'an

Sebagaimana yang dijelaskan oleh Allah mengandung banyak permisalan
(al-matsal). Sehingga dapat dikatakan bahwa Al-Qur'an merupakan Kitab Suci
tunggal (di dunia hingga hari kiamat) yang sarat “permisalan” atau
perumpamaan tersebut. Dan, permisalan tersebut khusus diturunkan dari
langit buat manusia. Agar manusia benar-benar dapat berpikir dan mengambil
pelajaran (i'tibar, 'ibrah dan al-tadzakkur). Dan memang Allah tidak
akan pernah merasa malu untuk memberikan “permisalan” kepada manusia.
Meskipun permisalan yang diberikan-Nya lebih rendah dan hina dari “nyamuk”
(Qs. Al-Baqarah [2]: 26). Karena Allah memang “tidak punya rasa malu”
dalam menerangkan kebenaran (al-haqq) kepada hamba-Nya (Qs. Al-Ahzab
[33]: 53).

Hal ini dapat ditemukan secara gamblang dari eksplanasi Allah: “Dan
sesungguhnya telah Kami buat dalam Al-Qur'an ini segala macam permumpamaan
untuk manusia…” (Qs. Ar-Rum [30]: 58) dan “Sesungguhnya telah Kami
buatkan bagi manusia dalam Al-Qur'an ini segala macam perumpamaan supaya
mereka dapat pelajaran” (Qs. Az-Zumar [39]: 27). Meskipun kemampuan
manusia dalam menangkap pesan “permisalan” tersebut berbeda-beda. Dan
(memang) orang yang dapat menangkap pesan di balik “permisalan’ tersebut
menurut Allah hanya orang-orang yang “memiliki ilmu” (Qs. Al-'Ankabut [29]:
43).

Salah satu bentuk dari “permisalan” yang dibuat oleh Allah untuk kita
adalah “suara keledai”. Suara keledai menurut Allah adalah
“sejelek-jelek” bentuk suara makhluk ciptaan-Nya. Permisalan tersebut adalah salah
satu nasehat Luqman Al-Hakim kepada anaknya. Ia menasehati anaknya agar
“melunakkan” suaranya: bersikap ekonomis dan tidak “mubadzir” dalam
berkata-kata. Ia berkata kepada anaknya:...”dan lembutkanlah suaramu.
Sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah suara keledai” (Qs. Luqman [31]:
19). Lalu apa maksud dari “suara keledai” itu?

Sebagai refleksi individual experience, penulis lumayan sering
mendengar “suara keledai” ini. Karena kebetulan orang-orang di negeri Firaun
dan bumi Kinanah ini penduduknya banyak yang memiliki keledai. Suaranya
cukup “lucu” dan “menggelikan”. Biasanya mirip dengan orang yang sedang
mengasah kikir: alat pengasah gergaji. Sehingga ia sering membuat
“terkejut” orang yang mendengarnya.

Suara keledai adalah perumpamaan “ketidak-tawadhu-an”. Ia adalah
lambang ke-takabbur-an dan pragmatisme. Karena ternyata, keledai tidak sering
mengangkat suaranya, kecuali ketika (hendak) mengekspresikan “rasa
lapar” dan ingin “melampiaskan nafsu birahinya”. Ketika perutnya
keroncongan, ia langsung angkat suara. Dan ketika nafsunya bergejolak, ia
berteriak sekuat-kuatnya. Sungguh pragmatik memang.

Selain itu, suara keledai melambangkan perbuatan yang tidak memiliki
manfaat yang jelas: karena hanya terbatas pada urusan perut dan
birahinya. Sehingga Imam Ali karramallahu wajhah berkomentar: “Siapa yang hanya
memikirkan masalah perut, maka ia tidak lebih dari apa yang keluar dari
perutnya”. Bisa jadi para penguasa yang pragmatik: yang pura-pura
menyuarakan aspirasi rakyat, suaranya adalah “suara keledai”. Karena ia tahu
benar bahwa suara rakyat itu adalah “suara Tuhan”: besar manfaatnya
dalam mengeruk keuntungan. Namun ketika urusan perutnya selesai, rakyat
pun dilupakan. Ketika urusan birahinya terlampiaskan, rakyat pun lepas
dari memorinya.

Dalam hal ini, yang diperlukan adalah “harmonisasi” antara ucapan dan
tindakan. Bukankah wakil rakyat yang baik adalah yang mengerti arti
ucapannya. Dan ia paham kepada siapa ia berbicara. Ia sedang berbicara
kepada suara Tuhan: yang tidak dapat ditipu dan dimanipulasi.

Nabi saw juga menerangkan agar umatnya tidak berbicara dan beraksi,
jika tidak memiliki target dan manfaat yang riil. Beliau menginginkan
umatnya agar (benar-benar) dapat mengontrol “mulut” dan “lisannya”. Bahkan
beliau menyatakan bahwa indikasi iman adalah berbicara yang baik. Atau
kalau tidak baik, lebih baik diam. Juga, refleksi iman itu adalah
“memuliakan tetangga dan tamu”. Hal ini dijelaskan oleh beliau dalam sebuah
hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ra: “Barangsiapa yang
beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau
diam. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah
ia memuliakan (menghormati) tetangganya. Dan barangsiapa yang beriman
kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya” (HR Bukhari
dan Muslim).

Intinya beliau menyatakan: “Ciri baiknya keislaman seseorang adalah
meninggalkan apa yang tidak ada manfaat yang diambil olehnya” (HR Turmudzi
dan yang lainnya. Ini adalah hadits Hasan.). Sehingga, menurut Imam
Malik ibn Anas dalam al-Muwatha’-nya menyatakan bahwa ia mendengar kisah
tentang Luqman bahwa ia (Luqman) ditanya: “Apa yang membuatmu seperti
yang kami saksikan ini –kemuliaan dan keutamaan?” Ia menjawab: “Shidq
l-hadits wa ada’ l-amanah wa tarku mala ya'nini” (Berkata jujur,
menunaikan amanah dan meninggalkan apa yang tidak ada manfaatnya bagiku). Karena
menurut Rasul saw bahwa “salah satu bentuk “kefakihan” seseorang adalah
sedikit bicaranya dalam hal yang tidak bermanfaat baginya” (Dikeluarkan
oleh Imam Ahmad ibn Hanbal).

Suara keledai benar-benar seburuk-buruk suara makhluk Allah. Maka
jangan pernah meniru suara keledai: suara yang “memekakkan” telinga orang
yang mendengarnya: suara yang mengusik ketentraman orang banyak. Suara
pragmatisme. Hati-hatilah dari “suara keledai”.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home