Bicara

"Demi Allah, tidak ada ganti yang lebih baik dari dia, yang beriman kepadaku saat semua orang ingkar, yang percaya kepadaku ketika semua mendustakan, yang mengorbankan semua hartanya saat semua berusaha mempertahankannya dan darinyalah aku mendapatkan keturunan." Begitulah Rasulullah SAW menggambarkan kepribadian Siti Khadijjah r.a.,istri pertamanya. Seorang isteri sejati, muslimah yang dengan segenap kemampuan diri berkorban demi kejayaan Islam.

9/03/2006

"Menjaga Lisan"

Terdapat dalil-dalil yang tegas dan jelas akan wajibnya menjaga lisan
agar kita menggunakannya sesuai dengan apa yang diperintahkan syari'at.
Di antaranya adalah:

1. Hadits 'Adiy bin Hatim, muttafaqun 'alaih
Rasulullah bersabda shallallahu 'alaihi wa sallam:

"Tidak ada seorang pun di antara kalian, kecuali nanti (pada hari
kiamat) akan diajak bicara oleh Allah, yang antara dia dengan Allah tidak
ada seorang penerjemah pun. Lalu dia melihat ke sebelah kanannya, maka
dia tidak meilihat kecuali apa yang telah dilakukannya dan dia melihat ke
sebelah kirinya, maka dia tidak melihat kecuali apa yang telah
dilakukannya. Kemudian dia melihat ke depan maka dia tidak melihat kecuali
neraka berada di hadapannya. Maka takutlah terhadap neraka walaupun (hanya
berinfaq) dengan sebelah/setengah kurma!" (HR. Al-Bukhariy no.6539 dan
Muslim no.1016)
Dan dalam riwayat Muslim terdapat tambahan: "Walaupun hanya dengan
mengucapkan perkataan yang baik!"

Dalam riwayat yang lain disebutkan:

Dari 'Adiy bin Hatim berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
menyebutkan tentang neraka lalu beliau berpaling kemudian bersabda:
"Takutlah kalian terhadap neraka!" lalu beliau kembali berpaling
sampai-sampai kami menyangka seakan-akan beliau melihat neraka tersebut,
kemudian beliau bersabda: "Takutlah kalian terhadap neraka walaupun (hanya
berinfaq) dengan sebelah kurma, maka barangsiapa yang tidak
mendapatkan(nya), maka (berkatalah) dengan perkataan yang baik!" (HR. Al-Bukhariy
no.1417 dan Muslim no.1016)

2. Hadits Abu Hurairah, muttafaqun 'alaih
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka ucapkanlah
(perkataan) yang baik atau diam!" (HR. Al-Bukhariy no.6018 dan Muslim
no.47)
Sabda beliau shallallahu 'alaihi wa sallam: "Barangsiapa yang beriman
kepada Allah dan hari akhir," maksudnya adalah barangsiapa yang beriman
dengan keimanan yang sempurna, yang dapat menyelamatkan dari 'adzab
Allah dan menyampaikan kepada keridhaan-Nya, "maka ucapkanlah (perkataan)
yang baik atau diam!" karena sesungguhnya orang yang beriman kepada
Allah dengan sebenar-benarnya tentulah dia merasa takut terhadap
ancaman-Nya, mengharap pahala-Nya, bersungguh-sungguh melaksanakan perintah-Nya
dan meninggalkan larangan-Nya. Dan yang lebih penting dari itu adalah
menjaga segala anggota badannya karena kelak ia akan dimintai
pertanggungjawabannya di akherat atas apa yang telah dilakukannya.

Sebagaimana firman Allah Ta'ala:

"Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan
diminta pertanggungjawabannya." (Al-Israa`:36)

Dan juga firman-Nya:

"Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya
malaikat pengawas yang selalu hadir." (Qaaf:18)
Bahaya dan ketergelinciran lisan sangat banyak, sebagaimana sabda Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam:

"Bukankah yang menenggelamkan manusia ke neraka di atas hidung-hidung
mereka tidak lain karena hasil lisan-lisan mereka?" (Shahih, HR.
At-Tirmidziy no.2616 dari Mu'adz bin Jabal t, lihat Shahiihul Jaami' 5/29-30))
Maka barangsiapa yang mengetahui dan memahami hal ini serta beriman
kepada-Nya dengan sebenar-benar keimanan, maka Allah akan memelihara
lisannya sehingga dia tidak akan berbicara melainkan dengan perkataan yang
baik atau diam.
Berkata sebagian 'ulama: "Kumpulan adab yang baik itu tercabang pada
empat hadits, disebutkan di antaranya sabda beliau shallallahu 'alaihi wa
sallam: "Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka
ucapkanlah (perkataan) yang baik atau diam!"

Sebagian 'ulama menjelaskan makna hadits tersebut: Apabila seseorang
hendak berbicara, maka jika apa yang hendak ia katakan itu baik, benar
dan berpahala maka hendaknya dia berbicara. Jika tidak maka hendaknya ia
menahan diri, baik perkataan itu hukumnya haram, makruh atau bahkan
yang mubah.
Berdasarkan hal ini, maka perkataan yang mubah diperintahkan untuk
ditinggalkan atau dianjurkan untuk menahan diri darinya karena khawatir
terjatuh kepada yang haram atau makruh dan inilah yang menimpa kebanyakan
manusia. Allah Ta'ala berfirman (yang artinya): "Tiada suatu ucapan pun
yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang
selalu hadir." (Qaaf:18)

Para 'ulama berbeda pendapat, apakah setiap yang diucapkan manusia itu
pasti dicatat oleh malaikat sekalipun yang mubah, ataukah tidak dicatat
melainkan yang berhubungan dengan perkataan yang akan membuahkan pahala
dan siksa? Ibnu 'Abbas dan lain-lain mengikuti pendapat yang kedua.
Bagi yang berpendapat dengan pendapat ini maka makna ayat yang mulia
tersebut menjadi bersifat khusus yakni perkataan yang berhubungan dengan
balasan, baik pahala ataupun siksa.

Berkata penulis kitab Al-Ifshaah 'an Syarhi Ma'aanish Shihaah, Ibnu
Hubairah: "Adapun sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam: "maka
ucapkanlah (perkataan) yang baik atau diam!" menunjukkan bahwa perkataan yang
baik itu lebih utama daripada diam, sedangkan diam lebih utama daripada
berkata yang jelek. Hal itu bisa diperhatikan dari sabda Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam yang mendahulukan "ucapkanlah (perkataan) yang
baik" daripada "atau diam!"
Berkata yang baik dalam hadits ini meliputi: menyampaikan ajaran Allah
dan Rasul-Nya, memberikan pengajaran kepada kaum muslimin, amar ma'ruf
nahi munkar berdasarkan ilmu, mendamaikan orang yang berselisih dan
berbicara dengan pembicaraan yang baik kepada manusia. Dan termasuk ucapan
yang paling utama adalah mengatakan perkataan yang benar di hadapan
orang yang ditakuti kekejamannya atau yang diharapkan bantuannya. (Lihat
Syarh Al-Arba'iin Hadiitsan An-Nawawiyyah hal.47-50)

Berkata Al-Imam Asy-Syafi'i: "Makna hadits ini adalah apabila seseorang
ingin berbicara maka hendaklah dipikirkan dahulu. Apabila nampak
bahwasanya tidak ada bahaya padanya maka berbicaralah, sebaliknya apabila
nampak padanya bahaya atau dia ragu (apakah mengandung bahaya atau tidak)
maka tahanlah (diamlah)." (Syarh Shahiih Muslim 1/222)

Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar: "Makna hadits ini adalah bahwasanya
seseorang apabila ingin berbicara maka pikirkanlah terlebih dahulu sebelum
berbicara. Maka apabila dia mengetahui bahwasanya pembicaraannya
tersebut tidak mengandung kerusakan dan tidak pula mengantarkan kepada yang
haram ataupun yang makruh maka berbicaralah. Dan sekalipun perkataan yang
mubah maka yang selamat adalah diam (tidak mengucapkannya) agar
perkataan yang mubah tersebut tidak mengantarkan kepada yang haram dan
makruh." (Fathul Bari 13/149)
Demikian juga Al-Imam An-Nawawiy dalam Syarh Shahiih Muslim mengatakan
dengan perkataan yang semakna dan kesimpulannya sebagaimana dikatakan
Ibnu Rajab: "Bahwasanya Nabi memerintahkan berbicara dengan perkataan
yang baik dan diam dari apa-apa yang tidak baik." (Jaami'ul 'Uluum wal
Hikam hal.126, lihat ketiga ucapan tersebut dalam Qawaa'id wa Fawaa`id
minal Arba'iin An-Nawawiyyah hal.137-138)

3. Hadits Abu Hurairah, riwayat Al-Bukhariy dan Muslim
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Sesungguhnya seorang hamba, benar-benar mengucapkan suatu perkataan
yang diridhai oleh Allah, yang dia tidak menganggapnya penting, (maka)
Allah mengangkatnya dengan perkataan tersebut beberapa derajat dan
sesungguhnya seorang hamba, benar-benar mengucapkan suatu perkataan yang
dibenci Allah, yang dia tidak memikirkannya terlebih dahulu, yang dengan
perkataan tersebut dia terjerumus ke dalam jahannam." (HR. Al-Bukhariy
no.6478)

Dalam riwayat Muslim, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:

"Sesungguhnya seorang hamba, benar-benar mengucapkan suatu perkataan
yang dengannya dia masuk ke dalam neraka lebih jauh daripada jarak antara
timur dan barat."
Dan dalam lafazh yang lain: "Sesungguhnya seorang hamba, benar-benar
mengucapkan suatu perkataan yang tidak jelas apa manfaat perkataan
tersebut, (akan tetapi) dengannya dia terjerumus ke dalam neraka lebih jauh
daripada jarak antara timur dan barat." (HR. Muslim no.2988)

4. Hadits Abu Hurairah, riwayat Muslim
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Tahukah kalian, apa itu ghibah?" Mereka berkata: "Allah dan Rasul-Nya
yang lebih tahu." Beliau bersabda: "Yaitu, kamu menyebut sesuatu
tentang saudaramu yang tidak disukainya." Ditanyakan: "Bagaimana pendapat
engkau, jika apa yang aku katakan memang kenyataannya ada pada saudaraku
tersebut?" Beliau menjawab: "Jika memang apa yang kamu katakan ada
padanya, berarti kamu telah meng-ghibahnya dan jika ternyata apa yang kamu
katakan tidak ada padanya, berarti kamu telah berdusta tentang dia."
(HR. Muslim no.2589)

5. Hadits 'Abdullah bin 'Amr, muttafaqun 'alaih
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Seorang muslim (yang baik) adalah seseorang, yang kaum muslimin
selamat dari lisan dan tangannya." (HR. Al-Bukhariy no.10 dan Muslim no.40)

Mudah-mudahan kita bisa memahami, menghafal dan mengamalkan dalil-dalil
di atas dengan semata-mata mengharap ridha Allah dan sesuai dengan
Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Aamiin. Wallaahu A'lam.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home